Biomaterial adalah istilah penulis untuk
‘materi-materi hayati’ alias semua materi yang secara organik ‘hidup’
alias mampu melakukan replikasi dan memiliki dinamika mandiri.
Elementer adalah sesuatu yang menjadi ‘pembentuk paling dasar’.
Sehingga biomaterial elementer dimaksudkan sebagai materi yang menjadi
pembentuk paling dasar dari sebuah mahkluk hidup. Saat ini yang
termasuk kategori ini adalah DNA (deoxyribonucleic acid) yang
berwujud dalam bentuk misalnya untaian yang mampu melakukan replikasi
seperti ditunjukkan di gambar. Sebagai ilustrasi, untai ganda DNA
seperti gambar di samping membentuk molekul dengan ukuran lebih kurang 2
x 8 nanometer (1 nm = 10-9 m). Sehingga tidak berlebihan
bila dikatakan ‘teknologi hayati’ terkait rekayasa biologi molekular
termasuk nanoteknologi. Sebenarnya, jauh sebelum popularitas istilah
nano dan nanoteknologi, rekayasa bioteknologi selalu berurusan dengan
fenomena skala nano !
Dilain pihak, dalam skala yang lebih besar sudah
lebih dahulu dikenal beragam protein sebagai unsur dasar pembentuk
mahkluk hidup. Namun berbeda dengan level DNA, fenomena di level
protein jauh lebih makroskopik dari skala DNA. Tidak mengherankan
rekayasa teknologi di level protein jauh lebih maju karena telah banyak
eksperimen yang berhasil dilakukan untuk melakukan aneka rekayasa dan
atau pengamatan atas sifat dan karakteristik protein. Sudah tidak
terhitung berapa banyak protein yang telah berhasil diidentifikasi dan
dikenal, semuanya terangkum dalam database online terbuka di PDB (Protein Data Bank) [1] yang juga disimpan di ARSIP LIPI dan bisa diakses publik secara cuma-cuma [2].
Apa kesulitan mengobservasi DNA yang ‘hanya’ di
level nanometer, padahal saat ini manusia telah mampu ‘mengamati’
tumbukan partikel elementer yang berskala 10-18 m ? Partikel
elementer seperti elektron, kuark, foton dan sebagainya adalah materi
non-hayati alias mahkluk mati dan statis tanpa ada interaksi dengan
materi lain. Sebaliknya DNA, seperti juga protein, adalah mahkluk hidup
dan memiliki makna hanya bila dalam kondisi ‘hidup’. Sehingga
pengamatan mempergunakan ‘nano’-skop berbasis mesin akselerator seperti
selama ini dilakukan dengan menembakkan partikel nuklir mengakibatkan
biomateri langsung ‘mati’ dalam waktu sangat singkat. Tidak heran,
eksperimen untuk mengetahui dinamika biomateri elementer saat ini
dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu mencari teknologi alternatif
untuk melihat dinamika biomateri pada skala nano secara waktu riil
tanpa memakai akselerator, atau mengembangkan detektor berkemampuan
tinggi untuk ‘memotret’ dengan resolusi waktu yang setara dengan masa
hidup biomateri yang dibombardir dengan partikel nuklir di akselerator
[3,4]. Teknologi alternatif yang banyak dikembangkan selain radiasi
synchroton yang berbasis akselerator adalah sinar X [3]. Sayangnya
sinar X juga memiliki dampak mematikan bagi obyek meski menjanjikan
waktu hidup yang lebih lama.
Menghadapi eksperimen yang semakin maju dan suatu
saat akan berhasil melakukan pengamatan menyeluruh atas dinamika
biomateri, apa yang harus dilakukan oleh para peneliti, khususnya di
bidang teori ? Seperti diketahui, kajian sains teori hanya ada di dua
bidang ilmu dasar yaitu fisika dan matematika. Dan keduanya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan sejak awal peradaban manusia.
Fisika memerlukan matematika sebagai alat bantu untuk mendeskripsikan
penjelasan fisika secara kuantitatif, sebaliknya perkembangan
matematika dipicu dan diinisiasi oleh kebutuhan di bidang fisika.
Teori-teori fisika kemudian ‘diaplikasikan’ dalam berbagai kajian lain
seperti kimia, teknik dan sebagainya.
Mengapa teori fisika diharapkan untuk memberikan
kontribusi di kajian biomaterial elementer ? Khususnya di level DNA,
diyakini efek reaksi kimia semakin kecil, karena skala nano hanya
mengandung beberapa atom, dimana ukuran 1 atom lk. 1 Å (Angstrom) = 10-10
m. Sehingga dibandingkan dengan reaksi kimia antar atom dari unsur
yang berbeda sebagai pembentuk biomateri, ‘dinamika fisis’ antar atom
pembentuk tersebut jauh lebih dominan. Pemodelan fisis dinamika DNA
berbasis interaksi fisika ini dipelopori oleh Davydov, Peyrard dan
Bishop tiga dekade lampau.
Namun aneka model yang diajukan untuk menggambarkan
interaksi antar materi pembentuk sebuah untai ganda DNA yang secara
skema di gambar di atas lebih bersifat fenomenologis dan mayoritas
berbasis model yang dikembangkan oleh Davydov, Peyrard dan Bishop.
Salah satu contoh adalah model yang grup penulis kembangkan untuk
menjelaskan fenomena pelipatan protein dikaitkan dengan perusakan
simetri [5]. Yang dimaksud dengan fenomenologis adalah sekedar
ditujukan untuk menjelaskan hasil pengamatan eksperimen, dan tidak
untuk menjawab ‘mengapa’ mekanisme tersebut terjadi. Padahal filosofi
fisikawan teori adalah menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, sedangkan
hasil eksperimen lebih ditujukan untuk melakukan klarifikasi atas
teori-teori yang telah diajukan sebelumnya.
Untuk itu grup penelitian penulis mencoba melakukan
kajian terkait dinamika biomateri ini berbasis interaksi fisika dengan
memanfaatkan pengetahuan di fisika partikel elementer. Mengikuti logika
di fisika partikel, kajian dimulai dengan mendeskripsikan ‘materi
elementer’ yang terkait dalam sebuah fenomena. Mengapa ‘elementer’ ?
Dari pengalaman di fisika partikel, akan jauh lebih mudah untuk
membangun sebuah teori dasar secara konsisten bila materi terkait
berjumlah seminimal mungkin. Sehingga tidak mengherankan bahwa teori
fisika yang sudah baku berbasis pada interaksi di level partikel
elementer dan bukan di level nuklir. Karena di level nuklir terdapat
ratusan jenis materi nuklir, dibandingkan dengan 16 jenis partikel
elementer ditambah 1 partikel hipotetik Higgs yang belum diketemukan !
Logika yang sama diaplikasikan pada biomateri. Dibandingkan dengan
membangun teori di level protein yang bisa mencakup ribuan jenis, akan
jauh lebih mudah mendeskripsikan dinamika di level DNA. Misalnya untuk
kasus untai ganda DNA di gambar di atas, cukup diwakili dengan ikatan
antara nukleoside dan fosfat dengan 3 jenis interaksi : 1) ikatan basa
antara 2 untai, 2) ikatan nukleoside dan fosfat dalam satu nukleotide,
serta 3) ikatan nukleoside dan fosfat dalam satu untai [6]. Teori ini
dikembangkan sebagai salah satu aplikasi pemodelan plasma sebagai
fluida relativistik sebelumnya [7].
Salah satu aspek yang menarik secara teoritis sejak
awal teori biofisika adalah fenomena non-linieritas di dinamika
biomateri. Saat ini fenomena non-linier di biomateri telah menjadi
pengetahuan baku, dan banyak sekali kajian terkait selama 2 dekade
terakhir. Salah satunya adalah efek osilasi pada monomer protein yang
memicu fenomena ‘aneh’ berupa kapasitas panas (heat capacity)
yang bisa bernilai negatif untuk ruang parameter tertentu. Grup penulis
juga melakukan kajian ini dengan memakai metoda yang baru, yaitu path integral
untuk menghitung osilasi amide-I dan amide-site murni sebagai sebuah
sistem kuantum [8,9]. Prediksi anomali berbasis teori semacam inilah
yang kelak akan dikonfirmasi kebenaran / kesalahannya melalui
eksperimen di masa depan.
Era teori sebagai penunjuk arah eksperimen di kajian hayati
Apakah makna dari uraian diatas ? Ini menunjukkan bahwa (bahkan) kajian hayati sekalipun telah memasuki era theory driven experiments.
Yaitu era dimana eksperimen akan dipicu dan diinisiasi oleh penemuan
teoritik. Hal yang sama telah dialami komunitas fisika dasar di awal
tahun 1930-an. Sebelumnya eksperimen dilakukan berbasis pengamatan dan
hipotesa eksperimen sebelumnya. Tetapi memasuki era 1930-an, eksperimen
yang bisa dilakukan berbasis pengamatan fisis langsung telah habis.
Eksperimen tidak bisa dilakukan hanya berbasis coba-coba (try and error),
karena sedemikian banyaknya kemungkinan dan ruang parameter yang
terkait. Selain juga semakin besarnya dana yang diperlukan seiring
dengan semakin kompleksnya eksperimen yang harus dilakukan.
Secara umum, dengan memasuki ranah elementer yang
jelas-jelas tidak kasat mata, sangat mustahil untuk menemukan sesuatu
yang baru tanpa bimbingan teori, baik secara analitik maupun numerik
dengan komputasi. Tidak terkecuali di kajian berbasis protein maupun
DNA. Tidaklah mengherankan bahwa salah satu topik hangat secara global
adalah biofisika seperti diatas dan bioinformatika. Berbeda dengan
biofisika yang berbasis model dan deskripsi kuantitatif, bioinformatika
melakukan pendekatan fenomenologis dengan memproses dan mensintesa
kemungkinan kombinasi yang relevan dari lautan data (protein dsb)
memakai teknologi informasi khususnya teknik-teknik penambangan data (data mining). Salah satu anggota grup penulis di kajian komputasi (Zaenal Akbar) juga aktif dalam topik ini dengan mengaplikasikan teknik komputasi dan data terdistribusi di Universitas Konstanz di Jerman.
Bagaimana peneliti Indonesia bisa berkontribusi di
kajian ini ? Sebenarnya dengan masuknya era elementer di kajian hayati,
peneliti Indonesia memiliki lebih banyak peluang untuk berkompetisi
secara global. Tidak hanya berkompetisi dengan mengandalkan local competitiveness (modal kelokalan) seperti selama ini…;-)
Referensi :
- Protein Data Bank RCSB, http://www.rcsb.org/pdb/.
- ARSIP LIPI - Server mirror data ilmiah global, http://www.arsip.lipi.go.id.
- Spring-8, http://www.spring8.or.jp.
- HASYLAB DESY, http://www.hasylab.desy.de.
- M. Januar, A. Sulaiman, L.T. Handoko, “Conformation changes and protein folding induced by phi4 interaction”, Proceeding of the Conference in Honour of Murray Gell-Mann’s 80th Birthday : Quantum Mechanics, Elementary Particles, Quantum Cosmology and Complexity (2011) 472-479 (DOI 10.1142/9789814335614_0047).
- A. Sulaiman, L.T. Handoko, “The effects of bio-fluid on the internal motion of DNA”, Journal of Computational and Theoretical Nanoscience (2011) 124-132 (DOI 10.1166/jctn.2011.1669).
- A. Sulaiman, A. Fajarudin, T.P. Djun, L.T. Handoko, “”Magnetofluid Unification in Yang Mills Lagrangian”, International Journal of Modern Physics A 24 (2009) 3630-3637 (DOI 10.1142/S0217751X09047284).
- A. Sulaiman, F.P. Zen, H. Alatas, L.T. Handoko, “Anharmonic oscillation effect on the Davydov-Scott monomer in thermal bath”, Physical Review E 81 (2010) 061907 (DOI 10.1103/PhysRevE.81.061907)
- A. Sulaiman, F.P. Zen, H. Alatas, L.T. Handoko, “Statistical mechanics of Davydov-Scott’s protein model in thermal bath”, Proceeding of the Conference in Honour of Murray Gell-Mann’s 80th Birthday : Quantum Mechanics, Elementary Particles, Quantum Cosmology and Complexity (2011) 661-668 (DOI 10.1142/9789814335614_0072).
by :
L.T. Handoko (http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/28/deskripsi-dinamika-biomateri-elementer-ala-fisika-partikel-elementer/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar